Magnis-Suseno: Masa Depan Papua Bukan Merdeka, Tapi Tetap dengan Indonesia

Image
Photo by http://www.pedomannews.com

MASA DEPAN Papua bukan merdeka tapi tetap dengan Indonesia. Meskipun, dalam Penentuan Pendapat Rakyat 1969 terjadi penipuan namun jejak pendapat tersebut resmi disahkan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa.

Demikian ucapan  cendekiawan Katolik dan budayawan Indonesia, Franz Magnis-Suseno SJ, dalam acara Refleksi Akhir Tahun dengan tema “Tahun Penuh Dusta, Masihkah Asa Tersisa?” di gedung Aula Muhamaddiyah, Jl. Menteng Raya no. 62 , Jakarta Pusat, Senin (19/12).

Magnis-Suseno mengatakan di mata dunia international Papua termasuk dalam wilayah Hindia Belanda. Logikanya, ketika Hindia Belanda diganti menjadi Indonesia, Papua juga masuk Indonesia. Selain itu, terdapat satu prinsip hubungan international yakni tidak pernah diganggu gugat sejak Perang Dunia II bahwa wilayah negara kolonial batas-batasnya tidak pernah dipersoalkan ketika mereka menjadi negara pasca-kolonial.

“Sebuah kesepakatan tak tertulis international yang bisa dicek di seluruh dunia bahwa Papua  termasuk Hindia – Belanda,” kata Magnis-Suseno.

Franz Magnis-Suseno mengatakan kerajaan Belanda memanfaatkan kelemahan negara Indonesia pada tahun 1950an dengan tidak mau memasukkan Papua ke dalam wilayah Republik Indonesia. Ini sebuah kebodohan dan kesalahan terbesar Belanda bila mereka klaim mereka memperhatikan Papua.

Kerajaan Belanda membantu “bangsa Papua” menyatakan kemerdekaan pada 1 Desember 1961 dengan bendera nasional Bintang Fajar serta lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” maupun logo burung mambruk.

Franz Magnis-Suseno menilai informasi mengenai keterlibatan beberapa anggota kongres Amerika Serikat mendukung Papua merdeka tidak relevan sama sekali. Secara tersurat belum ada satu pun politisi Amerika Serikat, termasuk Eni Faleomavaega, yang menyatakan diri dukung kemerdekaan Papua.

“Kepentingan Amerika adalah dengan Indonesia. Tidak dengan Papua. Begitupun bagi Australia, Cina maupun negara-negara Eropa. Mereka tidak akan melakukan sesuatu yang akan merusak hubungan dengan Indonesia” ujarnya.

Pada September 2010, Eni Faleomavaega, selaku ketua sub-committee Asia Pacific Kongress Amerika, mengadakan dengar pendapat soal hak asasi manusia di Papua. Dia mengundang tujuh orang untuk memberikan opini soal pelanggaran hak asasi manusia. Mereka termasuk P.J. Drooglever, penulis bukuTindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib; Sophie Richarson dari Human Rights Watch; Eben Kirksey, penulis buku Freedom in Entangled Worlds serta empat orang Papua: Oktovianus Mote (West Papua Action Network di New Haven); Henkie Rumbewas (Australia); Nick Messet (Jakarta); Salmon Yumame (Sorong). Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yakoisembut, yang belakangan dipilih sebagai presiden “Republik Federal Papua Barat” lantas ditahan polisi Indonesia, hadir dalam dengar pendapat tersebut.

Magnis-Suseno menilai, meskipun ada pembicaraan soal hak asasi manusia, namun baginya, pemerintah Amerika memang hanya bicara soal hak asasi manusia. Negara-negara diadakan guna melindungi hak warga mereka. Dalam hubungan internasional, sebagai sesama anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, Amerika dan negara mana pun, berhak memberi opini terhadap pelanggaran hak asasi manusia Papua. Namun Amerika “tidak mungkin” memberikan dukungan untuk kemerdekaan Papua. Ini juga berlaku dengan beberapa negara besar lain di dunia.

Bagi Magnis-Suseno, negara-negara besar macam Amerika Serikat, Rusia, Cina, Perancis dan Inggris, dalam keadaan dunia sedang mengalami krisis ekonomi, akan lebih menaruh perhatian pada kepentingan ekonomi mereka. Demi menjaga keberlangsungan hidup negaranya, mereka tidak akan mengganggu sesuatu yang akan merugikan mereka sendiri.

Terkait laporan kekerasan yang sedang menimpa masyarakat di Kabupaten Paniai, Magnis-Suseno menilai tindakan pemerintah Indonesia terlalu berlebihan. Pengerahan ratusan polisi dan tentara dalam operasi militer –termasuk pemakaian tiga helikopter— guna merampas dua pucuk senjata serta amunisi mereka adalah tindakan yang berlebihan.

Di Paniai, Kontras melaporan banyak bangunan sipil dan rumah warga dibakar polisi di tujuh distrik. Ini menyebabkan sekitar 25 ribu orang mengungsi ke distrik lain. Kontras menyebutkan bahwa Operasi Matoa, yang dilakukan sejak hari Selasa (13/12), menyebabkan satu orang sipil mati dan puluhan lainnya luka-luka.

“Pendekatan itu justru menghianati NKRI. Orang dengan sepatu lars yang menginjak-injak rakyat,” ujar Magnis-Suseno.

Tahun ini, setidaknya 50 orang Papua mati dalam berbagai kekerasan oleh aparat negara Indonesia. Pada bulan Juli dan Agustus, kekerasan terutama terjadi di daerah Puncak Jaya. Pada 19 Oktober, polisi memakai kekerasan untuk menangkap 300 orang Papua yang mengadakan Kongress Rakyat Papua di Lapangan Zakeus, Jayapura. Polisi berjanji menyelidiki tiga warga Papua mati akibat tembakan serta lebih dari 90 luka-luka. Hingga hari ini, lima orang masih ditahan di penjara Abepura, termasuk Forkorus Yaboisembut, dengan tuduhan makar. Mereka menolak tuduhan makar dengan beralasan acara tersebut resmi diizinkan polisi serta diawasi ketat polisi.

Dalam upaya menghadapai tuntutan merdeka, Magnis-Suseno menilai pendekatan security approach harus dikembalikan kepada level minimum. “Jadi, tentara ditarik, Brimob ditarik dan aksi militer dibatasi,” ucapnya. Pemerintah Indonesia harus memperlakukan Papua sebagai bagian dari Indonesia dan tidak sebagai “jajahan.” Pendekatan lain yang baik untuk ditempuh adalah menggunakan pendekatan civil society.

“Orang Papua berhak untuk merasa aman. Dan, sekarang mereka tidak merasa aman,” kata Magnis-Suseno.

Dalam acara Muhammadiyah tersebut, KH Hasyim Muzadi, mantan ketua umum Nahdlatul Ulama, mengatakan dia kuatir dengan eskalasi politik di Papua. Hasyim minta pemerintah untuk waspada dengan keberadaan apa yang disebutnya “konsultan” Amerika Serikat di berbagai departemen, termasuk Kementerian Pertahanan maupun Kementerian Luar Negeri. Mereka mengendalikan policy Indonesia soal Papua lewat pekerjaan mereka sebagai konsultan. Hasyim tidak menjelaskan siapa para konsultan tersebut.

Hasyim juga curiga pada rencana penempatan 2,500 marinir Amerika Serikat di Darwin. Dia menolak argumentasi President Barack Obama bahwa penempatan mereka terkait dengan kepentingan geo-politik Asia Pacifik, terutama untuk menghadapi makin menguatnya posisi Beijing.

“Harus selamatkan Papua melalui civil society,” kata Hasyim Muzadi dalam orasinya.

Hasyim juga menuduh isu hak asasi manusia Papua sebagai permainan Amerika Serikat. Jika pemerintah tidak mau bersikap tegas kepada para konsultan Amerika, maka tuntutan peninjauan ulang terhadap jajak pendapat 1969 bisa muncul dalam forum PBB. “Jika sudah demikian, Indonesia mau apa lagi?”

Sebelum meninggalkan podium, Hasyim Muzadi menegaskan, “Pemerintah pusat tidak boleh anggap remeh kondisi yang sedang terjadi di Papua.”